IMPLEMENTASI PROGRAM PENGENTASAN FAKIR MISKIN MELALUI KELOMPOK USAHA BERSAMA PADA DINAS SOSIAL TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI KABUPATEN LOMBOK TIMUR
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Implementasi
Implementasi
merupakan suatu penjabaran atas berbagai kebijakan yang tergantung pada tingkat
kepercayaan atau derajat kebebasan tertentu untuk melakukan pilihan atas
bagaimana cara-cara yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan.
Dalam proses implementasi sekurang-kurangnya terdapat tiga unsur yang penting
dan mutlak yaitu:
1. Implementasi program atau kebijaksanaan tidak mungkin
dilaksanakan dalam ruang hampa. Oleh karena itu faktor
lingkungan (fisik, sosial budaya dan politik) akan mempengaruhi proses
implementasi program-program pembangunan pada umumnya.
2. Target groups yaitu kelompok yang terjadi sasaran dan
diharapkan akan menerima manfaat program tersebut.
3. Adanya program kebijaksanaan yang dilaksanakan.
2.2 Konsep Kemiskinan
Kemiskinan
telah menjadi perbincangan dan kajian yang menarik bagi banyak kalangan, mulai
dari masyarakat awam, birokrat, politikus, pemimpin agama, hingga akademisi
(Maipita et.al. 2010). Berbagai
pendapat dan argumentasi tentang kemiskinan muncul, ada yang pro bahkan ada
juga yang kontra. Dimulai dari konsep kemiskinan itu sendiri, penyebab, cara
mengukur, dampak, hingga cara mengatasinya.
Kemiskinan
bukan hanya bahasan dan masalah bagi Negara kurang berkembang atau Negara
berkembang, tetapi turut menjadi topik bahasan Negara-negara maju. Hal ini
disebabkan kemiskinan juga melanda Negara maju. Selain itu, kemiskinan di
Negara berkembang dan kurang berkembang juga menjadi beban bagi Negara maju,
baik secara moral bahkan terkadang secara ekonomi.
Kajian
tentang kemiskinan telah dimulai sejak ratusan tahun yang lalu. Pada tahun
1899, Seebohm Rowntree melakukan studi tentang kemiskinan di York Inggris
(Haughton dan Sahidur, 2009). Bersama beberapa orang relawan ia mewawancarai
11.500 rumah tangga dalam kurun waktu enam bulan. Informasi yang mereka
kumpulkan adalah seputar kondisi rumah, status kepemilikan rumah, pekerjaan,
dan penghasilan. Hingga kini, sebagaian besar konsep kemiskinan relatif masih sama dengan konsep yang dilakukan oleh Rowntree
lebih dari seratus tahun yang lalu, yaitu seputar kecukupan akan sandang,
pangan dan papan.
2.2.1 Pengertian
Kemiskinan
Tidak
mudah untuk mendefinisikan kemiskinan, karena kemiskinan itu mengandung unsur
ruang dan waktu. Konsep kemiskinan pada zaman perang akan berbeda dengan konsep
kemiskinan pada zaman merdeka dan modern sekarang ini. Seseorang dikatakan
miskin atau tidak miskin pada zaman penjajahan dahulu akan berbeda dengan saat
ini.
Demikian
dari segi tempat, konsep kemiskinan di Negara maju tentulah berbeda dengan
konsep kemiskinan di Negara berkembang dan terbelakang. Mungkin keluarga yang
tidak memiliki televisi atau kulkas, seseorang yang tidak dapat
membayar asuransi kesehatan, anak-anak yang bermain tanpa alas kaki, seseorang
yang tidak memiliki telepon genggam, akses internet dan lainnya di
Negara-negara Eropa dapat dikatakan miskin. Namun tidak demikian di Negara
kurang berkembang seperti di Negara-negara Afrika.
Kemiskinan
di sebagian Negara justru ditandai dengan kelaparan, kekurangan gizi, ketiadaan
tempat tinggal, mengemis, tidak dapat sekolah, tidak punya akses air bersih dan
listrik. Definisi kemiskinan biasanya sangat bergantung dari sudut mana konsep tersebut dipandang. Meskipun sulit untuk mendefinisikan
kemiskinan, namun beberapa konsep kemiskinan menurut berbagai sumber.
Bank
dunia mendefinisikan kemiskinan sebagai “Poverty
is lack of shelter. Poverty is being sick and not being able to see a doctor.
Poverty is not being able to go to school and not knowing how to read. Poverty
is not having a job, is fear of the future, leaving one day at a time. Poverty
is losing a child to illness brought about by unclean water. Poverty is
powerlessness, lack of representation and freedom”.
Kemiskinan
berkenaan dengan ketiadaan tempat tinggal, sakit dan tidak mampu untuk berobat
ke dokter, tidak mampu untuk sekolah dan tidak tahu baca tulis. Kemiskinan
adalah bila tidak memiliki pekerjaan sehingga takut menatap masa depan, tidak
memiliki akses akan sumber air bersih. Kemiskinan adalah ketidak-berdayaan,
kurangnya representasi dan kebebasan. Lebih sederhana, Bank Dunia (2000)
mengartikan bahwa kemiskinan adalah kekurangan, yang sering diukur dengan
tingkat kesejahteraan.
Kemiskinan
biasanya didefinisikan sebagai sejauh mana suatu individu berada di bawah
tingkat standar hidup minimal yang dapat diterima oleh masyarakat atau komunitasnya.
Marianti dan Munawar (2006) berpendapat bahwa kemiskinan merupakan fenomena
multidimensi, didefinisikan dan diukur dalam banyak cara. Dalam banyak kasus,
kemiskinan telah diukur dengan terminology kesejahteraan ekonomi, seperti
pendapatan dan konsumsi. Seseorang dikatakan miskin bila ia berada di bawah
tingkat kesejahteraan minimum tertentu yang telah disepakati. Niemietz (2011)
menyatakan bahwa kemiskinan adalah ketidakmampuan untuk membeli barang-barang
kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, papan dan obat-obatan.
Para
ahli membuat pengertian atau definisi dari kemiskinan dengan berbagai versi.
Kemiskinan dapat berupa gambaran kekurangan dari sisi materi, kurangnya
kebutuhan sosial, pendapatan, akses terhadap sumber-sumber tertentu, dan
lainnya. Berbagai telah dikembangkan dalam upaya untuk memahami aspek-aspek
yang menetukan terjadinya kemiskinan secara lebih mendalam. Keanekaragaman
teori yang telah dikembangkan itu menggambarkan adanya perbedaan sudut pandang
di antara pemerhati masalah kemiskinan.
Secara
umum teori-teori yang menjelaskan mengapa kemiskinan terjadi, dapat dibedakan
menjadi teori yang berbasis pada pendekatan ekonomi dan teori yang berbasis
pada pendekatan sosio-antropologi (nonekonomi), khususnya tentang budaya
masyarakat. Teori yang berbasis pada teori ekonomi antara lain melihat
kemiskinan sebagai akibat dari kesenjangan kepemilikan faktor produksi, kegagalan
kepemilikan, kebijakan yang bias, perbedaan kualitas sumberdaya manusia, serta
rendahnya pembentukan modal masyarakat atau rendahnya rangsangan untuk
penanaman modal.
Di
sisi lain, pendekatan sosio-antropologis menekankan adanya pengaruh budaya yang
cenderung melanggengkan kemiskinan (kemiskinan kultural),
seperti budaya yang menerima apa adanya. Sangat yakin bahwa apa yang terjadi
adalah takdir dan tidak perlu disesali bahkan berusaha sekuat tenaga untuk
mengubahnya. Kondisi seperti ini terlihat jelas pada kerajaan-kerajaan zaman
dahulu. Para abdi kerajaan sepenuh hati mengabdi meski tanpa gaji (yang
memadai) karena itu diyakini merupakan sebuah takdir dan kebanggaan tersendiri,
atau mungkin karena alasan lainnya.
Kemiskinan
juga dapat dilihat dari standar hidup layak, artinya kita melihat apakah
seseorang atau suatu keluarga mampu memenuhi kebutuhan pokoknya. Lebih lantjut
diartikan bahwa kemiskinan adalah kondisi dimana tidak terpenuhinya kebutuhan
pokok atau kebutuhan dasar sehingga standar hidup layak tidak tercapai.
Kebutuhan dasar yang dimaksud seperti makanan, pakaian, rumah atau tempat
berlindung, pendidikan dan kesehatan. Kemiskinan seperti ini sering juga disebut
dengan kemiskinan absolut.
Kebutuhan
pokok yang dimaksud dalam konsep ini terus berkembang seiring dengan
perkembangan zaman, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas.Dahulu, yang
termasuk dalam kebutuhan pokok hanyalah kebutuhan akan sandang, pangan dan
papan, kemudian bertambah dengan pendidikan dan kesehatan. Standar kebutuhan
dasar atau pokok ini dapat berbeda antar Negara sesuai tingkat perkembangan
atau kemajuan masing-masing Negara.
Di
beberapa Negara tertinggal seperti di kawasan Gurun Sahara, kebutuhan yang
paling mendasar adalah pangan, sandang, dan papan, sedangkan di Negara
berkembang sebagian telah menambahkan pendidikan dan kesehatan sebagai bagian
dari kebutuhan dasar. Di Negara maju, kebutuhan dasar tidak hanya sebatas itu,
tetapi sebagian telah memasukkan hiburan (seperti kepemilikan televisi, telepon, dan internet) dan rekreasi. Kualitasnya juga
berbeda antar kelompok Negara. Semakin maju suatu Negara maka kebutuhan
dasarnya semakin kompleks dengan standar kualitas yang semakin tinggi pula.
Definisi
kemiskinan dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, antara lain:
1. Kemiskinan menurut standar kebutuhan hidup layak.
Kelompok ini berpendapat bahwa kemiskinan terjadi ketika tidak terpenuhinya
kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar. Artinya, seseorang atau suatu rumah
tangga termasuk dalam kategori miskin bila ia atau keluarga itu tidak mampu
memenuhi kebutuhan pokok sesuai dengan standar hidup layak. Kemiskinan seperti
ini disebut juga dengan kemiskinan absolut.
2. Kemiskinan menurut tingkat pendapatan. Pandangan ini
berpendapat bahwa kemiskinan terjadi disebabkan oleh kurangnya pendapatan untuk
memenuhi kebutuhan hidup layak.
Bila
kita lihat lebih teliti bahwa inti dari kedua sudut pandang itu adalah sama,
yaitu ketidakmampuan memenuhi kebutuhan pokok atau hidup layak, itulah yang
disebut dengan kemiskinan menurut basic
needs approach.
Para
ahli ekonomi, mengukur kekayaan dan kemiskinan dalam berbagai alat ukur. Tiga
alat ukur yang paling umum digunakan adalah pendapatan, asset, dan sosioekonomi
(Gorman, 2003). Alat ukur yang pertama, yaitu pendapatan akan dibahas lebih
khusus pada bagian 2.3, yaitu bagaimana pendapatan mempengaruhi kemiskinan.
Asset yang dimaksud dapat berupa uang, tabungan, sekuritas, rumah, tanah, saham
dan lainnya baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Sosioekonomi,
memiliki ukuran yang jauh lebih luas dari dua lainnya. Termasuk dalam hal ini
seperti, kesehatan gizi, angka melek huruf, angka kematian bayi, harapan hidup,
keamanan dan lainnya dari aspek kesejahteraan manusia.
Studi
sosiologis tentang kemiskinan diawali oleh Charles Both dan B. Seebohm Rowntree
(Townsend, 1954), mereka mengatakan
bahwa keluarga yang hidup dalam kemiskinan dapat dibagi menjadi dua bagian,
yaitu:
1. Keluarga yang pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan minimum. Kemiskinan seperti ini disebut dengan kemiskinan primer.
2. Keluarga yang pendapatannya secara keseluruhan hanya
cukup untuk memenuhi kebutuhan fisik semata. Kemiskinan seperti ini disebut
dengan kemiskinan skunder.
Chambers
(2006), berpendapat bahwa pengertian kemiskinan sangat tergantung
pada siapa yang bertanya, bagaimana hal itu difahami serta siapa yang
meresponnya. Prepektif ini mengelompokkan makna kemiskinan menjadi beberapa
kelompok dan beberapa diantaranya diuraikan berikut ini.
Pertama
adalah kelompok yang memandang kemiskinan dari segi pendapatan (income-poverty), namun karena sulit
untuk mengukurnya sering didekati dari sisi pengeluaran (consumption-poverty). Sebagian besar orang, terutama para pakar
ekonomi cenderung menggunakan konsep ini. Mereka akan melihat kemiskinan dari
sudut pandang pendapatan atau pengeluaran (konsumsi).
Kedua
adalah kelompok yang memaknai kemiskinan dari kekurangan materi. Konsep ini
lebih luas dari konsep pada kelompok pertama. Selain kekurangan pendapatan,
kemiskinan juga diartikan kurangnya kekayaan, rendahnya kualitas asset lain
seperti rumah tempat tinggal, pakaian, peralatan rumah tangga, sarana
transportasi, peralatan akses komunikasi dan informasi seperti TV, dan radio,
serta rendahnya akses terhadap fasilitas lainnya seperti kesehatan dan
pendidikan.
Kelompok
ketiga mengacu pada pendapatan Amartya Sen, bahwa kemiskinan dinyatakan sebagai
kekurangan atau ketidakmampuan serta apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan,
termasuk di dalamnya kekurangan material, ketidakmampuan fisik, serta dimensi
sosial. Kelompok keempat, mengartikan kemiskinan dengan konsep yang luas,
mencakup multidimensi kekurangan.
Kemiskinan ini menggambarkan dua belas
dimensi, yang satu sama lainnya saling berkaitan dan berhubungan. Keduabelas
dimensi itu terdiri dari: (1) dimensi pendidikan/kemampuan, (2) dimensi
institusi dan akses, (3) dimensi waktu, (4) dimensi musim, (5) dimensi tempat
tinggal/lokasi, (6) dimensi keamanan, (7) dimensi ketidakmampuan fisik, (8)
dimensi material, (9) dimensi hubungan sosial, (10) dimensi hukum, (11) dimensi
kekuatan politik, dan (12) dimensi informasi.
Namun, dimensi ini bersifat abstrak, berbagai
penelitian dan berbagai ahli dapat membuat pandangan yang berbeda.
Bahkan direduksi sehingga konsep kemiskinan itu diartikan lebih sempit sebagai
individu yang berada dalam kondisi kurang baik, rentan, terpinggirkan, tidak
punya atau memiliki akses yang minim, seperti terhadap pendidikan, hukum dan
sumberdaya lainnya.
2.3 Indikator
Kemiskinan
Indikator nasional dalam menghitung jumlah penduduk yang
dikategorikan miskin ditentukan oleh standar garis kemiskinan dari Badan Pusat
Statistik (BPS). Pengukuran kemiskinan dilakukan dengan cara menetapkan nilai
standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non-makanan yang harus
dipenuhi seseorang untuk dapat hidup secara layak. Penetapan nilai standar
minimum ini digunakan untuk membedakan antara penduduk miskin atau tidak
miskin.
BPS (1999) menggambarkan bahwa apabila
penduduk dalam pengeluaran tidak mampu memenuhi kecukupan konsumsi makanan
setara 2100 kalori per-hari ditambah pemenuhan kebutuhan
pokok minimum non makanan berupa perumahan, pakaian, kesehatan dasar,
pendidikan dasar, transportasi dan aneka barang/jasa lainnya maka dapat
dikategorikan miskin. Sementara itu, penduduk yang tidak mampu memenuhi
kecukupan konsumsi makanan setara dengan 1800 kalori per-hari dikategorikan
fakir miskin.
Peraturan pemerintah Nomor 42 Tahun 1981
tentang pelayanan kesejahteraan sosial bagi fakir miskin menjelaskan konsep
tentang fakir miskin adalah individu yang sama sekali tidak mempunyai kemampuan
untuk memenuhi kebutuhan pokok yang layak baik kemanusiaan atau orang yang
mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak memenuhi kebutuhan pokok yang
layak bagi kemanusiaan.
Secara umum kebutuhan pokok
manusia untuk hidup layak minimal mencakup kebutuhan makanan dan non makanan (pakaian,
perumahan, kesehatan, pendidikan, air bersih). Penjelasan di atas menggambarkan
bahwa konsep fakir miskin dapat dinyatakan sebagaiorang yang
tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum untuk makanan,
pakaian, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan dasar dan air bersih.
Berdasarkan indikator kemiskinan menurut BPS,
maka penduduk yang dikategorikan fakir miskin adalah penduduk yang di bawah garis
sangat miskin. Kategori sangat miskin dan miskin dibedakan dalam hal
pengeluaran transportasi dan aneka barang/jasa yang diperlukan sehari-hari.
Berdasarkan standar kemiskinan pada tahun
2002 yaitu ukuran pendapatan seseorang maksimal Rp. 103.499,- / bulan di daerah
perkotaan dan Rp. 96.512,- / bulan di daerah pedesaan, maka tahun 2002 jumlah
penduduk miskin di Indonesia tercatat sebesar 38,4 juta jiwa diantaranya
termasuk penduduk fakir miskin sebanyak 16,5 juta atau sekitar
43% dari populasi penduduk miskin.
Pada tahun 2003, jumlah penduduk miskin
mengalami penurunan menjadi 37,3 juta,
termasuk diantaranya sebanyak 15,8 juta fakir miskin atau 42,4% dari populasi
penduduk miskin. Pada akhir tahun 2004 penduduk miskin menurun menjadi 36,1
juta, termasuk 14,8 juta fakir miskin atau 41% dari populasi penduduk miskin.
Persentase tersebut menunjukkan bahwa secara rata-rata dari setiap 100
orang penduduk miski, 41 orang diantaranya masih tergolong fakir miskin.
Berdasarkan pengalaman pada masa krisis ekonomi yang melanda
Indonesia pada pertengahan tahun 1997, maka diketahui terdapat peningkatan
jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan secara signifikan. Faktor
peningkatan ini dipengaruhi oleh meningkatnya indeks pengeluaran makanan dan non
makanan yang digunakan sebagai standar garis kemiskinan dari BPS, sebagai
akibat depresiasi nilai rupiah terhadap dolar. Dengan demikian indikator
kemiskinan menurut BPS sangat rentan dipengaruhi stabilitas nilai rupiah.
Oleh karena itu, untuk kepentingan
pelaksanaan program pemberdayaan fakir miskin, khususnya pelayanan
kesejahteraan sosial bagi fakir miskin diperlukan indikator yang lebih merefleksikan
tingkat kemiskinan yang sesungguhnya di masyarakat. Indikator untuk menentukan
fakir miskin yang dimaksud sebagai berikut:
1.
Penghasilan rendah, atau berada di bawah garis sangat
miskin yang dapat diukur dari tingkat pengeluaran per-orang per-bulan
berdasarkan standar BPS per wilayah provinsi dan Kabupaten/Kota.
2.
Ketergantungan pada bantuan pangan untuk penduduk miskin
(seperti zakat/beras untuk orang miskin/santunan sosial).
3.
Keterbatasan kepemilikan pakaian untuk setiap anggota
keluarga per tahun (hanya mampu memiliki 1 stel pakaian lengkap per orang per
tahun).
4.
Tidak mampu membiayai pengobatan jika ada salah satu
anggota keluarga yang sakit.
5.
Tidak mampu membiayai pendidikan dasar 9 tahun bagi
anak-anaknya.
6.
Tidak memiliki harta (asset)
yang dapat dimanfaatkan hasilnya atau dijual untuk membiayai kebutuhan hidup
selama tiga bulan atau dua kali batas garis sangat miskin.
7.
Tinggal di rumah yang tidak layak huni.
8.
Sulit memperoleh air bersih.
Indikator fakir miskin tersebut sifatnya
multidimensi, artinya setiap keluarga fakir miskin dapat
berbeda tingkat kedalaman kemiskinannya. Secara umum jika tiga (3) kriteria
tersebut di atas terpenuhi, sudah dapat dikategorikan keluarga fakir miskin
yang layak untuk memperoleh pelayanan kesejahteraan sosial. Semakin banyak kriteria
yang terpenuhi semakin fakir keluarga tersebut dan harus diprioritaskan
penanganannya.
2.4 Kelompok Usaha
Bersama (KUBE)
2.4.1 Dasar Pembentukan Kelompok Usaha Bersama (KUBE)
Menurut
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Penanganan Fakir MiskinDalam
undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak
mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian
tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi
kehidupan dirinya dan/atau keluarganya.
2. Penanganan fakir miskin adalah upaya yang terarah,
terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah,
dan/atau masyarakat dalam bentuk kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan,
pendampingan, serta fasilitasi untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga
Negara.
3. Kebutuhan dasar adalah kebutuhan pangan, sandang,
perumahan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan/atau pelayanan sosial.
4. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut pemerintah, adalah
presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
5. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota,
dan perangkat daerah sebagai unsure penyelenggara pemerintah daerah.
6. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang sosial.
2.4.2 Kelompok Usaha Bersama Fakir
Miskin (KUBE-FM)
Kelompok
Usaha Bersama Fakir Miskin (KUBE-FM) adalah himpunan dari keluarga yang
tergolong fakir miskin yang dibentuk, tumbuh dan berkembang atas dasar
prakarsanya sendiri, saling berinteraksi antara satu dengan lain, dan tinggal
dalam satuan wilayah tertentu dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas
anggotanya, meningkatkan relasi sosial yang harmonis, memenuhi kebutuhan
anggota, memecahkan masalah sosial yang dialaminya dan menjadi wadah
pengembangan usaha bersama.
2.4.3 Pembentukan Kelompok Usaha Bersama (KUBE)
Kelompok usaha bersama (KUBE) dibentuk dan
dilandasi oleh nilai filosofis “dari”, “oleh” dan “untuk” masyarakat. Artinya
bahwa keberadaan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dimanapun baik di desa maupun
di kota adalah berasal dan berada di tengah-tengah masyarakat. Pembentukannya
oleh masyarakat setempat dan peruntukannya juga untuk masyarakat setempat.
Karena konsep yang demikian, maka pembentukan
dan pengembangan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) harus dengan nilai dan norma
budaya setempat, harus sesuai dengan keberadaan
sumber-sumber dan potensi yang tersedia di lingkungan setempat, dan harus
sesuai dengan kemampuan SDM anggota Kelompok Usaha Bersama (KUBE) yang ada.
Oleh karena itu, Kelompok Usaha Bersama (KUBE)
adalah kelompok warga atau keluarga binaan yang dibentuk warga yang telah dibina
melalui proses kegiatan pemberdayaan masyarakat untuk melaksanakan
kesejahteraan sosia dan usaha ekonomi dalam semangat kebersamaan sebagai sarana
untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya.
Kelompok Usaha Bersama (KUBE) merupakan
metode pendekatan yang terintegritas dan keseluruhan proses pemberdayaan
masyarakat. Pembentukan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dimulai dengan
proses pembentukan kelompok sebagai hasil bimbingan sosial, pelatih
keterampilan, bantuan stimulus dan pendampingan.
2.4.4 Tujuan Kelompok Usaha Bersama (KUBE)
Keberadaan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) bagi
keluarga miskin telah menjadi sarana untuk meningkatkan usaha ekonomi
produktif khususnya dalam peningkatan pendapatan. Menyediakan sebagian
kebutuhan yang diperlukan bagi keluarga miskin, dan menciptakan keharmonisan
hubungan sosial antara warga untuk menyelesaikan masalah sosial yang dirasakan
keluarga miskin.
Oleh karena itu tujuan Kelompok Usaha Bersama
(KUBE) diarahkan kepada upaya mempercepat penghapusan kemiskinan melalui:
1.
Peningkatan kemampuan berusaha para anggota Kelompok
Usaha Bersama (KUBE) secara bersama.
2.
Peningkatan pendapatan atau peningkatan kemampuan anggota
kelompok Kelompok Usaha Bersama (KUBE) di dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan
hidup sehari-hari ditandai dengan meningkatkan pendapatan keluarga,
meningkatkan kualitas pangan, dan meningkatkan pemenuhan kebutuhan sosial lainnya.
3.
Pengembangan usaha
4.
Peningkatan kepedulian dan kesetiakawanan sosial di
antara anggota Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dan dengan masyarakat sekitar atau
meningkatkan kemampuan anggota Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dalam menampilkan
peranan-peranan sosialnya, baik dalam keluarga maupun lingkungan masyarakat
ditandai dengan semakin meningkatnya kepedulian dan rasa tanggung jawab dan
keikutsertaan anggota Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dalam usaha-usaha
kesejahteraan sosial di lingkungannya.
2.4.5 Kelembagaan Kelompok Usaha Bersama (KUBE)
Dilihat dari segi kelembagaan
setiap melakukan binaan keluarga Kelompok Usaha Bersama (KUBE) mempunyai
kelelmbagaan yaitu:
1.
Kriteria Anggota
a.
Keluarga miskin yang mempunyai pendapatan di bawah garis
kemiskinan.
b.
Warga yang berdomisili tetap.
c.
Usia produktif.
d.
Menyatakan kesediaan bergabung dalam kelompok.
e.
Memiliki potensi dan keterampilan di bidang usaha ekonomi
tertentu.
2.
Jumlah Anggota
a.
Jumlah keanggotaan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dapat
bervariasi, tergantung kebutuhan nyata di lapangan dan kondisi lokal dan
kesepakatan kelompok itu sendiri.
b.
Jumlah keanggotaan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) terdiri
dari 5-10 Kepala Keluarga (Kelompok Usaha Bersama (KUBE) kelompok kecil).
c.
Karena sifat suatu kegiatan dan kepentingan tertentu,
kelompok Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dapat terdiri dari beberapa kelompok
gabungan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) namun pembinaan secara rutin tetap dalam
Kelompok Usaha Bersama (KUBE) kelompok kecil.
d.
Suatu kelompok yang anggota dikategorikan keluarga miskin
dapat memilih anggota yang bukan termasuk kategori miskin, namun mempunyai
semangat kewirausahaan namun jumlah anggota yang bukan dari keluarga miskin
hanya 20% dari anggota Kelompok Usaha Bersama (KUBE) yang lain.
3.
Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Pembentukan
Kelompok
a.
Kedekatan tempat tinggal.
b.
Jenis usaha atau keterampilan anggota.
c.
Ketersediaan sumber/keadaan geografis.
d.
Latar belakang kehidupan nyata.
e.
Memiliki motivasi yang sama.
f.
Keberadaan kelompok-kelompok masyarakat sudah tumbuh.
4.
Struktur dan Kepengurusan Kelompok Usaha Bersama (KUBE)
a.
Struktur organisasi suatu bentuk tanggung jawab yang
harus dijalankan. Dengan struktur dapat diketahui “siapa mengerjakan apa”. “Siapa
berkewajiban dan tanggung jawab apa”.
b.
Struktur Kelompok Usaha Bersama (KUBE) sangat tergantung
pada kegiatan atau jenis usaha yang dijalankan oleh Kelompok Usaha Bersama (KUBE)
tersebut.
c.
Perumusan struktur Kelompok Usaha Bersama (KUBE) yang
terdiri dari: ketua, sekretaris, dan bendahara.
d.
Kepengurusan dipilih berdasarkan hasil musyawarah atau
kesepakatan anggota kelompok.
5.
Kewajiban Anggota
a.
Mengikuti dan mentaati semua ketentuan-ketentuan yang ada
dan yang sudah disepakati.
b.
Mewujudkan tujuan yang ingin dicapai bersama.
c.
Membangun kerjasama dengan berbagai pihak.
d.
Memanfaatkan dana bantuan modal usaha dengan penuh
tanggung jawab.
KEMBALI KE BAB I LANJUT KE BAB III
Komentar
Posting Komentar